Press enter to see results or esc to cancel.

Social-Disconnectedness : Kita Tidak di Desain Untuk Pembatasan Sosial

Pada masa ini nongkrong ramai di jalanan dan berkumpul di ruang publik untuk sebuah kegiatan akan sangat dibatasi dan tidak diperbolehkan. Menghindari interaksi sosial dengan sesama tentu akan membangun rasa kesendirian dan kesepian dalam diri dan itu butuk. Tetapi apa ada cara-cara lain untuk menjaga diri tetap merasa baik selama menjalani kesendirian?

Manusia adalah makhluk sosial. Masyarakat yang tumbuh sebagian besar diorganisasikan dalam interaksi sosial, dan kita adalah salah satu dari sedikit, jika bukan satu-satunya spesies di galaxy ini yang makhluknya saling membutuhkan satu sama lain atau sering di sebutnya makhluk sosial. Pernah tidak terlintas berpikir mengapa seseorang yang berbuat salah di hukum dengan kurungan penjara? Karena salah satu cara tersakit untuk menyiksa seorang manusia dengan membuatnya terisolasi sebab kurungan isolasi dipandang sebagai tingkat hukuman dan penderitaan yang luar biasa.

Sebuah studi yang diterbitkan tahun ini di The Lancet menemukan bahwa Keterputusan Sosial (Social Disconnectedness) – didefinisikan sebagai kelangkaan kontak dengan orang lain – menyebabkan perasaan terisolasi, yang pada ujungnya menimbulkan perasaan depresi dan kecemasan.

“Kebutuhan akan keterhubungan sosial adalah karakteristik manusia yang sudah berurat -berakar,” tulis para penulis penelitian. Isolasi berkaitan erat dengan penurunan mood dan fungsi kognitif, kurang tidur, dan meningkatnya stres dan berat badan. Terlebih yang paling relevan dengan situasi COVID-19 saat ini dikatakan berdampak dan dapat menyebabkan penurunan fungsi kekebalan tubuh.

Apa saja dampak kesehatan dari kesepian?
Kata Roger McIntyre, profesor psikiatri di University of Toronto. “Orang adalah organisme sosial, dan jutaan tahun evolusi telah membuat kita tidak bisa diisolasi atau sendirian,” . Dia juga menambahkan bahwa isolasi seringkali berujung pada kesepian, yang menyebabkan peningkatan risiko penyakit jantung, obesitas, depresi, dan potensi bunuh diri.  Bahkan dalam data publik, angka kematian karena bunuh diri lebih tinggi daripada angka kematian karena rokok.

“Kesepian terjadi ketika adanya kesenjangan antara interaksi sosial yang diinginkan seseorang dengan apa yang didapatkan (Link & Match). Kita dapat merasakan kesepian walau dikelilingi oleh orang-orang.”

“Kesendirian membuat orang defensif, mudah marah, tertekan, dan khawatir tentang kelangsungan hidup mereka, dan itu berdampak dengan peningkatan 26% dalam risiko kematian dini,” kata Stephanie Cacioppo, seorang peneliti kesepian 😀 dan asisten profesor psikiatri dan ilmu saraf perilaku di Universitas Chicago.

Cacioppo mengatakan bahwa kesepian dapat menyebabkan atau berkontribusi pada sejumlah masalah kesehatan antara lainnya stress dan defresif.

Kerja sama sosial telah sangat penting untuk keberhasilan spesies manusia, dengan hidup bercampur sejak dulu membuat manusia hidup trus tumbuh dan berkembang. Beberapa penelitiannya telah menemukan bahwa tidak adanya kontak interpersonal dapat mengaktifkan region otak tertentu dalam menanggapi beberapa situasi seperti kelaparan atau ancaman kerusakan fisik. Otak kita dirancang untuk memonitor kesepian. “Kesendirian adalah sinyal yang telah berevolusi untuk melindungi kita,”  Begitu kesepian terdeteksi, kehadirannya memicu aktivasi sistem stres tubuh, yang seiring waktu dapat memicu peradangan kronis dan semua masalah kesehatan yang ditimbulkannya – mulai dari penyakit jantung hingga disfungsi.

Cacioppo juga mengatakan bahkan sebelum COVID-19, kesepian tersebar luas di beberapa Negara besar seperti AS & China. Sebuah survei tahun 2019 dari perusahaan asuransi dan layanan kesehatan Cigna menemukan bahwa 61% orang Amerika melaporkan kesepian yang lompatan tujuh  persen dari tahun sebelumnya. Dan sebuah jajak pendapat YouGov 2019 menemukan bahwa 23% dari Gen Z (kelahiran 1995 sampai 2010) dan 29% dari kaum milenial merasa kesepian “always” atau “often”  dan krisis saat ini pasti akan mempengaruhi angka-angka itu.

“Sebuah survey di Wuhan, di temukan bahwa semakin banyak waktu yang dihabiskan di media sosial, semakin tinggi tingkat stres dan kecemasan yang terjadi.”

Menemukan cara alternatif untuk melawan kesepian
Penangkal yang jelas untuk kesepian adalah dengan menghabiskan waktu bersama orang lain. Namun Cacioppo mengatakan ada cara lain untuk memerangi kesepian. “Cobalah untuk memiliki masterplan kehidupan untuk mendorong kita tetap aktif” katanya. Dia merekomendasikan untuk sebaiknya membuat rencana untuk minggu mendatang dengan aktivitas rutin seperti olahraga atau berkumpul bersama teman untuk membentuk kembali interaksi sosial  secara proaktif atau bahkan dengan menelepon teman dan mengobrol online dengan anggota keluarga.

“Your mind does not have shelter in place restrictions”

McIntyre dari University of Toronto juga merekomendasikan olahraga sebagai cara terbaik untuk meningkatkan suasana hati dan melawan jenis-jenis stres yang dapat ditimbulkan oleh kesepian. Dan, secara tegas dia mengatakan bahwa menghindari media sosial juga merupakan ide yang baik. “Terbukti kami menemukan di Wuhan bahwa semakin banyak waktu yang dihabiskan orang di media sosial, semakin tinggi tingkat stres dan kecemasan yang dialami”  katanya, merujuk pada beberapa penelitiannya sendiri.

Ini masuk akal karena beberapa alasan. Media sosial cenderung me supply konten terbaru, dan notification yang hampir konstan dengan pemberitaan  statistik COVID-19 dapat memperburuk kesehatan mental terlebih di situasi sedang Physical Distancing.

Akhirnya, memang perlu ada keputusan nyata untuk mengambil langkah-langkah untuk mengatasi kekhawatiran, kecemasan, dan kesedihan yang dihasilkan oleh kesepian hingga mengurangi dampak buruknya. Para ahli mengatakan bahwa reframing kognitif adalah salah satu teknik yang terbaik, populer dan didukung oleh bukti untuk menekan emosi negatif.

Selamat berisolasi, kurangi media sosial, kurangi stress dan rasa cemas anda.

Source : https://elemental.medium.com/we-are-not-made-for-social-isolation-17e539944a0c