Press enter to see results or esc to cancel.

Butterfly Effect: Hal Kecil Kita Lakukan Hari ini, Berdampak Besar di Masa Depan

Dalam beberapa bulan sebelumnya, saya belum sempat merilis tulisan apapun. Bukan karena saya tidak menulis lagi, namun semakin ‘kesini’, saya seolah ragu untuk membagikan tulisan saya sebab alasan kurang komprehensif, kurang menyentuh, kurang pembuktian, kurang ilmiah dan aja saja kurang lain. So, I’m just keeping them in my draft folder. Tulisan malam ini akan menjadi tulisan pertama dirilis setelah sekian lama dan tulisan ini menjadi lanjutan dari genre yang sudah ada sebelumnya yaitu Reflection.

Disclaimer

Tulisan ini saya buat secara sadar tanpa ada unsur mendiskreditkan seseorang maupun sekelompok orang, Tulisan ini akan banyak masuk ke sisi-sisi gelap yang jarang dibahas secara langsung dalam kehidupan bermasyarakat sebab muatan yang ada mengandung konten sensitif seperti Sex Orientation dan problem lain yang masih berkaitan dengannya.

Beberapa hari yang lalu, di dalam kelas Kursusan di Kampung Inggris, Pare, Kediri. Kelas biasanya dimulai dengan presentation atau guru kami menyebutnya SOTD (Student Of The Day) yaitu satu sesi khusus untuk membagikan knowledge yang kita miliki. Dalam kesempatan ini majulah salah seorang diantara kami. Seseorang yang pastinya saya tidak tahu latar-belakangnya, sebab kami di kelas hanya mengetahui nama satu sama lain; itupun kadang.

Siapa yang sangka dari materi yang disampaikan teman ini membuat banyak orang terpukau bahwa masalah yang dia miliki menjadi privilege bagi dia untuk memberi manfaat; sangat-sangat bermanfaat. Dia membawakan presentasi tentang LGBT, tidak asing bukan? Kalian pun saya yakin setidaknya pernah membaca atau mendengar istilah ini. Sebab bukan hanya akhir-akhir ini, beberapa tahun terakhir juga pernah masuk di TV Nasional sebagai bahan perdebatan antara yang mendukung LGBT ataupun tidak.

Pada kesempatan ini, dia membawakan materi tentang LGBT dengan judul lengkap yaitu LGBT (Lesbian Gay Bisexual and Transgender) & LGBTQQIAAP (Lesbian Gay Bisexual Transgender Queer Questioning Asexual Pansexual). Dia tidak sedang mencoba menjelaskan bagaimana tutorial menjadi LGBT ya, melainkan tentang sisi edukasi yang seringkali tidak terjangkau oleh media dan wawasan kita. Bagi saya pribadi, melihat seseorang yang mengakui dirinya pengidap LGBT tentu harusnya menjadi menjijikkan di telinga namun tidak pada kesempatan ini. Muatan sisi positif yang diberikan sangat menyentuh sehingga membuat saya bahkan kami semua tidak sadar sangat menikmati materi yang dibawakan.

Materi Presentasi
Materi Presentasi Teman. Sumber: Pribadi

Saya akui, kemampuan kawan ini dan Self-Confidence nya sudah berada pada Another Level. Dia begitu relax, open dan kadang lost control dalam menyampaikan keluh-kesahnya sebagai pengidap LGBT. Dihadapan kami semua, dia mengakui bahwa dia seorang Gay, namun ada spesifik kecendrungan lain yang dimiliki yang setidaknya membuat dia hingga tidak “mempermak” organ tubuhnya.

Androgini Jender merupakan sebuah konsep psikologis yang membagi perilaku manusia ke dalam maskulin dan feminin. Setiap manusia memiliki kadar maskulinitas dan femininitas yang berbeda. Ada yang cenderung sangat maskulin atau sangat feminin, tetapi ada juga yang berada di antara maskulin dan feminin, dan kategori ini disebut dengan androgini.

Sumber neliti.com

Ia mengakui dirinya seorang Androgini yang memiliki kecendrungan berpenampilan sebagai perempuan feminim ketimbang lelaki yang maskulin. Sisi feminismenya lebih kuat dari maskulitas yang dimiliki sehingga dari penampilan, cara jalan hingga tingkah lainnya cendrung feminim atau singkatnya “Ngondek” (Lemah gemulay kayak Barbie) 😀

Apa yang menarik dari materinya? Bukan hanya karena ini pertama kali bagi saya mendengarkan secara langsung pengakuan seseorang yang mengakui dirinya seorang Gay, namun apa yang disampaikan yang sebagian besar menurut kita bisa saja sebagai hal yang agak menjijikkan didengar malah ternyata menjadi materi yang berharga dan memotivasi.

Tentu bukanlah takdir yang ingin dipilih olehnya untuk memiliki kecendrungan seperti ini, tentu ada pertarungan dalam dirinya. Ketimbang hanya menyakiti dirinya sendiri yang bingung dan terus bertanya, kenapa ini harus terjadi kepadanya. Ia memilih melimpahkan semua problematika yang dihadapi ke dalam sisi yang positif yaitu menyembuhkan dirinya hingga kini menjadi guru bagi para pengidap LGBT yang ingin hijrah; mendampingi para pengidap dan mengedukasi siapa saja bahayanya LGBT. Bahaya tidak hanya dari sisi kesehatan dan mental melainkan juga dari sisi jangka panjang, kesempatan karir dan kemungkinan-kemungkinan tidak baik di masa depan.

Melihat dia presentasi dengan gagah dan cantik membuat saya merasa minder, bagaimana seseorang yang terperangkap dalam dunia yang begitu gelap kini menjadi sangat cemerlang dan bersinar dengan kesadaran yang dimilikinya. Dia tahu yang dilakukan di masa lalu salah. Dia menjalani banyak tahun yang sulit untuk berdamai bukan hanya dengan dirinya, melainkan dengan keluarga dan sekitarnya. Kini, dia menghadap tegak kedepan untuk membagikan kesadaran yang dimiliki, kesadaran yang tidak mungkin dibagikan orang lain karena hanya dia yang merasakan itu semua.

Disaat itu pula saya merasa, begitu luar biasanya dia. Dia sangat unik, hanya dialah seseorang yang bisa membagikan sisi kebaikan dan kebermanfaatan dalam masalah Sex Orientation hingga ia memanfaatkan privilege itu untuk dibagikan ke lainnya. Salute. (y)

Butterfly Effect: Kecil Tapi Berdampak Besar

Butterfly effect adalah istilah dalam teori kekacauan yang berhubungan dengan “ketergantungan yang peka terhadap kondisi awal”, di mana perubahan kecil pada satu tempat dalam suatu sistem taklinear dapat mengakibatkan perbedaan besar dalam keadaan kemudian. Istilah yang pertama kali dipakai oleh Edward Norton Lorenz ini merujuk pada sebuah pemikiran bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brasil secara teori dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian.

Sumber : Wikipedia.org

Terpintas sesaat di pikiran tentang salah satu teori yang pernah saya baca. Teori Kekacauan dalam Hidup yaitu Butterfly Effect. Teori dengan sempurna saya lihat diterapkan dalam cerita kehidupannya teman ini. Ketimbang membiarkan problematika orientasi seksual ini terus berkembang hingga takutnya akan menjadi trend di masa depan, di saat kecerdasan otak manusia tidak sejajar dengan akal sehatnya. Masa-masa lahirnya manusia berperilaku seperti Tuhan seperti Homo Deus, mengadakan yang tidak ada menjadi ada, seolah ingin melanggar desain Tuhan. Maka, keberadaan seseorang seperti teman saya ini sangatlah berarti di muka bumi.

Setelah menuntaskan kesulitan yang dia alami dalam perjalanan kembali ke fitrahnya sebagai seseorang lelaki, kini dia turun dan terlibat penuh sebagai consultant bagi orang-orang yang ingin kembali hijrah ke fitrah mereka. Ia bercerita tentang program-program yang juga berhasil membuatnya kembali normal.

Kita tentu tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan setelah orang-orang seperti ini mau tampil dan berbicara tentang LGBT, apakah akan berdampak pada penemona dunia yang unpredictable seperti apa yang dikatakan dalam Teori Butterfly Effect. “Kepakan sayap kupu-kupu di Brasil dapat menimbulkan angin tornado di Texas”, kita tidak tahu persis apa God’s Will dalam level ini.

Kini, dia secara aktif memberikan edukasi kepada para pengidap. Ntah yang menghubunginya secara langsung maupun tidak. Puluhan hingga ribuan orang mulai mengikutinya melalui media sosialnya menunjukkan bahwa banyak sekali orang yang tertarik dengan dirinya hingga membutuhkan bantuannya. Kini ia juga bukan hanya punya tempat di dunia maya, namun juga mendapat tempat baik di dunia nyata. Perlahan-lahan, beberapa orang terinspirasi olehnya.

Hal kecil yang ia lakukan akan menjadi jejak jariah yang baik bagi orang-orang yang terbantu untuk keluar dari kelamnya kehidupan LGBT. Kita doakan semoga kesadaran yang didapat tetap terjaga, tetap menjauhi dirinya dari apa yang sudah ia sadari salah dan trus memberi pengaruh kepada manusia dan alam semesta bahwa kebaikan dan kebermanfaatan itu bisa datang darimana saja.

Juga kita belajar dalam menjaga “Cara Pandang” kita terhadap seseorang. Melihat baik buruk seseorang seumpama melihat gelas terisi setengah air. Kita akan melihat gelas tersebut menjadi gelas yang setengah terisi atau melihatnya menjadi gelas yang setengah kosong.

Akhir Kata..

“Kita memang hanya akan dipertemukan,” tukas Buya dengan senyum teduhnya, “Dengan apa-apa yang kita cari. ”Meski pergi ke Makkah, tapi jika yang diburu oleh hati kita memang adalah hal-hal buruk, syaithan dari golongan jin maupun manusia takkan kekurangan cara untuk membantu kita mendapatkannya. Dan meski safarnya ke Los Angeles dan New York, jika yang dicarinya adalah kebajikan, maka segala kejelekan akan enggan dan bersembunyi.

Sumber: https://www.islampos.com/kisah-buya-hamka-234367/

Tulisan ini akan ditutup dengan kalimat dari Bu Guru yaitu Mom Septin yang memimpin kelas dalam kalimat sederhana “Kita dipertemukan dengan apa yang kita cari. Apa yang kita cari, itu yang akan kita dapat.” Beliau mengutip dari ilmu kehidupan dari seorang Buya Hamka.