Semua Sudah Ada Porsinya..
Heii, yang saat ini sedang ambisius dengan misi Kaya Muda, Tua Leha-Leha. Yang saat ini sedang obsesi ingin miliki semuanya diusia muda: rumah, mobil, uang, gadget terbaik, liburan setiap hari hingga berhaji.
Sudah seberapa mantap usaha itu hingga kini dan sudah puas dengan semua capaian itu semua?
Angan-angan itu memang sangat menyenangkan ya, selain itu tidak ada effect bosannya karena tidak statis dan memiliki akhir.
Bagi yang punya angan-angan seperti diatas, tidaklah itu salah dan pastikan kalian memang anak muda yang visioner dan imaginatif. Hingga tulisan ini dibuat, sudah banyak juga muda mudi yang sudah berhasil mewujudkannya bahkan diusia bocah pun dapat membuktikannya.
Dari setiap kesuksesan orang-orang dengan kekayaannya yang kita lihat, kita dengar dan kita amati. Apa disaat yang sama, kita berpikir juga akankah siap bila tiba-tiba saja kesuksesan itu diberikan kepada kita??
Jawanan refleksnya kita akan bilang siap, sebab apa ribetnya menjadi kaya? dan punya. Kan tinggal dipake dan digunakan saja.
Jawaban seperti ini termasuk dalam jenis kesadaran naif kita sebagai manusia. Kita menduga dan menghitung semuanya dengan calculator logika.
Padahal pada penerapannya, kesuksesan itu bisa saja berupa mindset.
Mengapa bisa begitu? Saya temukan filosopi ini dari rekan curhat saya. Dia orang biasa yang punya privilege dari Sang Maha Kuasa untuk menjelaskannga kepada saya. Sebut saja namanya Mas Anas.
Saya memahami prinsip “ukuran” dalam hidup. Enaknya saya gunakan istilah “porsi” saja, menurutnya semua sudah ada porsinya: kekayaan, rezeki, kesedihan, nikmat dan sebagainya.
Dari mana kita bisa memahami semua sudah terporsi, terukur? Misal paling dekat dalam dunia kerja: Penghasilan dan pengeluaran itu sudah terporsi dengan alamiah berdasarkan ketentuan dariNya.
Misal, seorang CEO dengan Startup Bonafitnya kita bandingkan dengan Pedagang Pecel dengan lapak kecilnya.
Si CEO bisa menghasilkan puluhan hingga ratusan juta perbulan, namun mengeluarkan puluhan hingga ratusan lagi perbulannya. Hasil yang melimpah membutuhkan sumber daya (resources) yang luas biasa juga besarnya. Bergaji 120juta/bulan dari startupnya namun pengeluaran dari sisi operasional perusahaan, biaya hidup, gaya hidup, nongkrong dan aktivitas pengeluaran lainnya bisa sangat membengkak misal 110juta/bulan.
Si Pedagang pecel menghasilkan ratusan ribu hingga sekian juta perbulan dan pengeluarannya relatif setingkat dengan itu. Misal hasil jualan 5juta/bulan dan pengeluaran seperti bahan jualan bulan selanjutnya, biaya hidup, biaya anak dan biaya primer, tersier lainnya bisa mencapai 4juta/bulan misalnya.
Berdasarkan dari ilustrasi diatas, bagaimana kita menemukan prinsip porsi itu? Kemudian bagaimana ukuran kesuksesan itu? Apakah ada dikeduanya atau dimiliki hanya satu diantaranya saja? Boleh tidak dijawab dan izin menurut saya, maka jawaban terfilosopisnya tidak dikeduanya dan ada dikeduanya.
Maksudnya, keduanya tidak sukses bila selama ini posisi yang dimiliki membuatnya tidak puas, cukup dan bersyukur dan maksud kesuksesan itu ada di keduanya saat kedua orang diatas selesai dalam pencariannya, selesai dengan dirinya dan ambisinya.
Apa maksudnya selesai? Sesederhana kita mencari ikan, kapan kita merasa? Ya saat kita sudah mendapat ikan yang banyak di hari itu. Sebaliknya, kita tidak akan selesai dengan pencarian kita disaat ambisi menjadi kedua mata kita. Ambisi yang tidak akan ada putusnya.
Lalu, apakah ambisi itu merusak kesuksesan? Saya rasa juga tidak, kalau ambisi itu diarahkan untuk kemaslahatan: berbagi, menghidupkan aktivitas lain dan menghadirkan kesempatan bagi yang membutuhkan. Namun cendrung ambisi itu hanya untuk menambah dan mengalikan keinginan dan kepuasan dari sendiri dan itulah yang sangat merusak.
Sedikit contoh, saat kita diterima diperusahaan baru. Kita berusaha tampil untuk bisa menyelesaikan dan mengerjakan semua padahal tugas pokok kita tidak melakukan semuanya, namun kita berharap ada penghasilan dari semua saluran yang kita ambil.
Dalam kamus kecil saya, saya bisa sebut itu sebagai “Keserakahan Potensi“. Naluri untuk terlibat dalam setiap aspek yang bukan expertis kita, aslinya coba-coba dan biasanya di balik keserakahan itu ada ambisi untuk “mengambil lebih”.
Maka, inilah sumber toxic, buruk untuk kita. Seolah kita percaya bahwa semuanya berjalan dalam pikirkan, hasil persis seperti yang kita pikir. Semua yang kita ambil seolah bisa membuat kita memiliki segalanya. Kita ingin memiliki semuanya, kita serakah pada apapun.
Padahal..
Satu halpun kalau kita mau kuasai, tidak akan habis. Kitapun tidak akan mampu untuk mengambil semua hal yang ada. Sebab kita ini hanya manusia, yang lemah dan pasti akan mati.
Kita pun tertidur saat lelah, pingsan saat kehabisan tenaga dan sakit saat makhluk lain menyakiti kita. Lalu apa gunanya berlama-lama dalam obsesi itu? Kita juga tidak akan mampu menginjakkan kaki disemua tempat dimuka bumi ini walau kita diberikan 100 tahun umur. Kita sering terlena dalam kefanaan, padahal yang paling jelas menjadi milik kita adalah yang sudah masuk menjadi daging, energi dan kotoran ditubuh kita.
Oh Tuhan, apa yang sudah saya lakukan selama ini. Mengapa tidak hentinya saya ingin menguasai? Memiliki ini itu dan sebagainya.
Saya merencanakan semua hal seolah saya akan mendapatkan semuanya dan lalainya saya seringkali tidak melibatkan engkau dalam rencana-rencana itu.
Terimakasih untuk kesadaran malam ini. Hamba berusaha lebih baik dalam hidup lagi.
Outro:
Tulisan ini hanyalah resah dari penulis, semua kata dan kalimat yang nampak menyinggung memang sengaja digunakan penulis untuk mencaci dirinya sendiri.
Dengan harapan besar, tulisan-tulisan nya menjadi pengingat hidup bagi penulis. Terimakasih bagi yang mampir dan sedia membaca.
Bacalah, seolah engkau bodoh setiap hari.
Comments
Leave a Comment