Patron-Klien : Ketergantungan dan Ketidak Setaraan
Di dalam buku besar perjalanan Indonesia, pergantian sistem kepemimpinan dari awal hingga sekarang membentuk tingkatan sosial di masyarakat. Di lapisan masyarakat yang tingkat bawah: pedesaan dan perkampungan misalnya terdapat sebagian yang menjadi Patron dan sebagian yang lebih besar menjadi Klien. Terdapat gaps yang membentang di antara keduanya, biasanya Patron memiliki kedudukan yang lebih karena mempunyai kemapanan dan kemampuan sedangkan Klien adalah istilah yang memiliki keterbatasan ekonomi dan kemampuan hingga biasanya menjadikannya ‘buruh’ di dalam sebuah lingkungan kerja.
Patron-Klien secara garis besar adalah sebuah jenis relasi sosial yang terjalin namun tidak dalam kesetaraan. Secara penjelasan akademis, sesungguhnya apa yang dinamakan relasi Patronase atau Patron-Klien itu? Patron-Klien adalah suatu hubungan tidak setara yang terjalin secara perorangan antara seorang pemuka masyarakat dengan sejumlah pengikutnya. Hubungan semacam ini terjalin berdasarkan atas pertukaran jasa, dimana ketergantungan klien kepada patronnya dibayarkan atau dibalas oleh patron dengan cara memberikan perlindungan kepada kliennya.
Istilah ‘patron’ berasal dari ungkapan bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti ‘seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh’ (Usman, 2004: 132). Sedangkan klien berarti ‘bawahan’ atau orang yang diperintah dan yang disuruh. Selanjutnya, pola hubungan patron-klien merupakan aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang tidak sederajat, baik dari segi status, kekuasaan, maupun penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah (inferior), dan patron dalam kedudukan yang lebih tinggi (superior). Atau, dapat pula diartikan bahwa patron adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu klien-kliennya (Scott, 1983: 14 dan Jarry, 1991: 458)
Saya rasa sudah cukup jelas bukan? Kemudian bagaimana ciri-ciri hubungan Patron-Klien? Berikut ada beberapa poin karakteristik dari hubungan Patron-Klien:
- Inequality of exchange: Terdapat ketidaksamaan dalam pertukaran yang menggambarkan perbedaan dalam kekuasaaan, kekayaan dan kedudukan.
- Face to face character: Adanya sifat tatap muka, dimana hubungan ini bersifat instrumental yakni, kedua belah pihak saling memperhitungkan untung-rugi, meskipun demikian masih terdapat unsur rasa yang tetap berpengaruh karena adanya kedekatan hubungan.
- Difuse Flexibility: Ikatan ini bersifat luwes dan meluas, sifat meluas terlihat pada tidak terbatasnya hubungan pada kegiatan kerja saja, melainkan juga hubungan tetangga, kedekatan secara turun-menurun ataupun persahabatan dimasa lalu, selain itu terdapat pertukaran bantuan tenaga (jasa), dan dukungan kekuatan selain jenis-jenis pertukaran uang dan barang.
Pada dasarnya, jenis ikatan ini sangat lazim karena jenis ikatan ini sangat mudah di temukan. Mulai dari tingkat rumah tangga, perkampungan, pedesaan, perkotaan hingga yang lebih besar. Salah satu contoh hubungan Patron-Klien di tingkat perkampungan, terdapat pola masalah yang hampir sama akan di temukan yaitu masalah pertukaran; ketidak seimbangan antara Cost & Reward. Misal, terdapat kelompok usaha yang memiliki struktural yang terbentuk tidak melalui kesepakatan kuat, contohnya seseorang yang menjadi Patron (Pemimpin kelompok) menggunakan kemapanan ekonominya untuk menutupi kebutuhan modal usaha yang di bentuk kelompok, sedangkan Klien (Anggota kelompok) terlibat sebagai eksekutor / orang teknis yang berkontribusi melalui kemampuan fisiknya (jasa dan tenaga) dengan demikian si Patron memiliki kekuasaan lebih di banding Klien. Kelemahan dari jenis kesepakatan yang di gunakan akan menimbulkan ketidak seimbangan. Ketika usaha meningkat, Patron bisa dengan mudah menentukan pembagian komisi untuk para kliennya hingga bisa-bisa ada rasa ketidakpuasan dari Klien. Ketika mendapat bantuan seperti pendanaan dan dukungan fasilitas, maka barang yang di dapat menjadi tidak efektif ketika ingin di lakukan pembagian.
Ketergantungan dan Ketidak Setaraan
Ikatan ini cendrung akan membentuk ketergantungan. Dari kasus di atas, kelompok yang termasuk klien membutuhkan upah yang di dapat untuk pemenuhan kebutuhan ekonominya dan mau tidak mau seringkali banyak terdapat korban ketidak adilan dalam proses pengambilan keputusan dan pembagian hasil. Klien memiliki keterbatasan tidak dapat membuat keputusan jika jenis kesepakatan yang di gunakan bukan kesepakatan modal melainkan kesepakatan tenaga. Kesepakatan tenaga memiliki kelemahan kurang kuatnya komitmen dalam proses menjalankan usaha jangka panjang, kurang transparan, kerentanan eksploitatif (pemanfaatan semaunya) hingga keterbatasan dalam memberi keputusan. Namun kelebihannya sangat mudah di terapkan, tidak melalui proses perencanaan yang panjang, tidak ada beban produksi terhadap Klien dan keluwesan untuk keluar dari kelompok yang menurutnya bila tidak produktif lagi. Sedangkan, kesepakatan modal memiliki kelebihan lebih kuat dan adil. Contoh wujud dari kesepakatan modal adalah Koperasi, sistem dalam koperasi yang menjamin setiap anggota memiliki hak yang sama dalam menikmati hasil dan membuat keputusan. Kesepakatan modal akan memberi ruang yang lebih luas untuk anggota dalam mengatur dan mengembangkan unit usaha yang di jalankan. Untuk kekurangan dari kesepakatan ini, saya rasa kita dapat menyebutkan beberapa kekurangannya dari penjelasan di atas. Silahkan di tulis di kolom komentar ya. 🙂
Kesimpulan
Secara sistem, hubungan Patron-Klien (Patronage) adalah hubungan yang Simbiosis-Mutualisme; menguntungkan kedua belah pihak (Patron & Klien), Sisi Patron terbantu dengan adanya Klien sebagai penggerak dan pendorong berjalannya komitmen yang menyebabkan peningkatan produksi sedangkan Klien mendapat perlindungan dengan di beri jaminan keamanan dan upah dalam menjalankan komitmen yang di bentuk.
Referensi
- Usman, Sunyoto. 2004. Sosiologi; Sejarah, Teori dan Metodologi. Yogyakarta: Center for Indonesian Research and Development [CIReD]. Cetakan Pertama.
- Scott, James C. 1983. Moral Ekonomi Petani. Jakarta: LP3S. Cetakan Kedua.
- Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor. Edisi Pertama.
Comments
Leave a Comment