Tinggal disatu lingkungan sosial, ada tuntutan dari sekeliling secara sadar terhadap kita untuk terlibat dan berbagi peran untuk kebaikan. Sebagai masyarakat yang terhimpun dalam sebuah ketergantungan, secara sosial, politik dan ekonomi.
Berawal dari pengalaman penulis, kita semua pasti memiliki histori dan perjalanan hidup bermasyarakat kita masing-masing. Bisa saja penuh dengan tantangan, hambatan, kepuasaan bahkan ketidakbaikan. Lalu, pada dasarnya apa yang membedakan setiap taste dalam cara kita menikmati peranan kita di dalam lingkungan bermasyarakat?
Sadar atau tidak, dalam hidup bermasyarakat dari lahir kita memiliki kewajiban untuk membangun daerah kita: dusun, desa, kecamatan, kabupaten dst. Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pasal 68 menjelaskan bahwa masyarakat desa memiliki kewajiban seperti membangun dan memelihara lingkungan desa, mendorong terciptanya kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan masyarakat.
Nah, basically negara menuntut setiap warganya untuk dapat memberi kontribusi untuk kebaikan dalam pembangunan, pengembangan, pemberdayaan dan pembinaan lingkungan masyarakat yang dimana tempatnya berada. Lalu, pertanyaan penting dan krusial muncul di benak kita sebagai anak-anak muda kelahiran 90an yang besarkan di pedesaan. Apa yang bisa kita berikan di usia ini sebagai bentuk kontribusi kita untuk kemajuan dan perkembangan desa?
Hidup ini hanya sekali, berguna lalu mati.
Pertanyaan seperti ini tidak jarang menjebak kita sebagai seorang pemuda-pemudi yang akhirnya minder karena sejauh mata memandang dan menghirup nafas kehidupan yang tinggal dan makan di desa belum mampu memberikan peran secara nyata untuk pembangunan desa. Dari sisi sosial, kita melihat tidak sedikit persoalan turun temurun di desa kita yang hingga kita mampu berpikir ke arah itu belum juga terselesaikan. Dari sisi budaya, bisa lebih kejam lagi. Di beberapa daerah yang kental akan prinsip budayanya, saya memiliki teman-teman yang mau tidak mau harus segera memutuskan di usia muda untuk pergi merantau agar tidak di ‘cemooh’ masyarakat sekitarnya karena di dalam budayanya, pemuda yang tidak dapat memberi peran untuk kampungnya hanya di pandang sebagai beban bahkan sampah untuk daerahnya.
Memang benar adanya, semakin bertambah usia kita. Semakin terasa tekanan dari dari diri dan luar diri kita, secara sadar dan tidak karena kita hidup di lingkungan bermasyarakat. Seiring berjalannya waktu, terasa bertambahnya tanggung-jawab yang kita emban, mulai dari tanggung jawab dengan diri kita sendiri, mau kita bawa tubuh, otak dan asset yang di berikan Tuhan kepada kita, kita mau menjadi apa agar dapat berguna untuk sesama?
Kemudian tanggung jawab secara keluarga, tanggungan dan pengeluaran orang tua dari kita di lahirkan hingga sebesar ini tidak henti-hentinya, sedangkan orang tua kita semakin menua, adik-adik kita semakin besar yang tentunya akan menjadi tanggung jawab kita sebagai kakak untuk mendukung dan memenuhi kebutuhannya. Terakhir, tanggung jawab yang seumur hidup kita bawa yaitu tanggung-jawab sosial, berguna dan dapat memberi manfaat untuk masyarakat sekitar kita. Ya apa, hingga tua renta tidak sedikitpun kita mau mengabdi untuk masyarakat ? Berguna dan berbagi peran untuk kemajuan desa kita? Saya rasa kita semua ingin selain sukses, juga bermanfaat untuk masyarakat luas.
Lalu apa yang bisa kita lakukan pada usia belasan atau puluhan ini? Bila kita pada fase ini dan terjebak dengan pertanyaan tersebut. Maka mulailah dengan mengucap syukur, Alhamdulillah.
Mengucap syukur dengan datangnya kesadaran dari alam bawah sadar kita yang disebut kesadaran naif. Dengan adanya kesadaran ini, setidaknya kita sudah masuk pada salah satu di antara tiga tahap arkeologi kesadaran manusia. Dalam teorinya, tingkat kesadaran yang di miliki manusia itu terdapat 3 level / tingkatan:
1. Kesadaran Magis
Tingkat kesadaran terendah pada diri manusia, kemiskinan, kesusahan, segala persoalan sulit yang kita alami dan terjadi semua adalah takdir. Mindset pemikiran yang menganggap bahwa semua sudah begini adanya; tidak terelakkan. Maka pade fase ini segeralah kita bangkit karena kita hanya akan merasa sia-sia dalam menjalani hidup ini.
2. Kesadaran Naif
Tingkat kesadaran lebih baik, sense of social kita sudah aktif. Kita merasakan ada yang salah dan keliru dan mendeteksi adanya persoalan yang butuh resolusi. Tingkat kesadaran kita tlah dapat membangun diskusi dengan orang-orang, tapi belum sampai pada tahap memahami realitas secara mendalam true act of knowing. Kita mampu memahami masalah yang mereka alami, namun bisa saja kita cenderung untuk menyepelekan dan tidak mengujinya secara cermat. Sehingga kita sangat rentan dimanipulasi oleh elit politik lewat propaganda, slogan atau mitos. Nah, pada fase ini sebagian besar kita anak muda sering berada.
3. Kesadaran Kritis
Tingkat kesadaran terbaik, kita berpikir dan mengeksekusi pikiran tersebut dengan tindakan nyata. Melakukan sesuai kebutuhan dan porsi kita dalam memberi peran dan pada fase ini kita dapat mengatakan bahwa inilah fase yang dibutuhkan pada usia muda.
Think an idea and put it into an action.
Ada sebuah film inspiratif yang sangat saya rekomendasikan untuk di tonton. Film yang di angkat dari sebuah buku social-activities tentang bagaimana memberi peran dalam usia muda. Tentu maksudnya tidak perlu menunggu diri begitu matang untuk mau bertindak. Film itu adalah Pay it forward, film yang dirilis tahun 2000 dengan pemain utama seorang anak bernama Trevor.
Penulis persingkat, di dalam ceritanya seorang guru sosial di sebuah Sekolah Dasar bertanya pada muridnya: Apa yang kalian harapkan dari dunia ini? Dari beberapa jawaban, satu jawaban itu keluar dari mulut Trevor: Tidak ada!, Trevor melanjutkan tidak ada yang bisa di harapkan di dunia ini selain dari kesedihan dan kita harus tetap berikan peran kepadanya walau tidak besar.
Merenungkan tulisan gurunya di papan, Trevor berpikir untuk bertindak sesuai porsinya seorang anak yang masih duduk di sekolah dasar, apa yang bisa di berikan at least itu bisa berdampak untuk segelintir orang. Maka mulailah ia dengan 1 istilah yang diperkenalkannya Pay it forward (Kebaikan itu harus diteruskan) yaitu berarti ia harus membantu orang-orang yang under-privilege untuk bangkit dan dapat memberi juga kepada sesamanya. Terbentuklah rantai kebaikan dari 3 orang pertama yang di bantu Trevor hingga dijadikannya secara mendunia sebagai sebuah gerakan oleh masyarakat global.
Under-privilege adalah posisi seorang insan yang lahir dan besar tidak memiliki keistimewaan: kemudahan mendapatkan & memperoleh kesempatan.
Ada usaha untuk mau bertindak walau itu hanya sebatas pemikiran. A big step starts with a small step. Melalui film tersebut penulis mengambil makna kesadaran itu bisa saja lahir kapan saja bahkan di usia bangku sekolah dasar dan ya ada faktor pendorongnya: lingkungan, motivasi pribadi dan pengetahuan.
Maka, mulai saja mainkan peran teman-teman. Jika kita seorang pelajar, belajar yang baik untuk dapat membangun sekolah non formal untuk anak-anak yang tidak dapat menikmati sekolah formal. Kita seorang mahasiswa, maka sebagai bentuk pengabdian kita sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah dengan membagikan pengetahuan, kemampuan dan pengalaman kita untuk ikut berkontribusi membangun desa. Peran itu tidak melalu dengan kemampuan hardskill, softskill juga termasuk dalam kemampuan dan kecerdasan yang bisa kita tularkan. Bersikap baik terhadap sesama, jangan memperburuk keadaan, ikut terlebih dari kegiatan-kegiatan kecil yang di selenggarakan desa. Banyak hal yang kita bisa lakukan selagi kita mau mengambil peran, kecil besar kontribusi itu akan sangat berasa dampaknya bila kita mau melakukannya dengan tindakan nyata.
Kekhawatiran kita di usia muda, walau meski zaman tidak lagi sehangat masa sebelumnya. Interaksi kemasyarakatan kita lebih kental dengan pertemuan dan diskusi antar sesama, dimana kehidupan nyata kita bermasyarakat lebih terjaga di banding sekarang yang mulai tergerus dengan media yang memberi ‘jarak’ untuk interaksi sosial kita di masyarakat. Semua zaman memang akan membawa masa dan nilainya sendiri, dasar yang kita miliki untuk sadar kita sebagai makhluk sosial saling membutuhkan.. Maka merasa punya peran dan tanggung-jawab dengan lingkungan adalah sebaik-baik cara kita menjaga jiwa sosial kita.
Lebih baik menjadi seekor seumut yang membawa setetes air untuk memadamkan api di banding menjadi burung elang yang gagah namun meninggalkan kobaran.
Selanjutnya penulis akan berbagi pengalaman penulis sebagai seorang praktisi IT yang dapat di jadikan contoh dan sampel untuk dapat di replikasi di tempat teman-teman.
Setelah menikah, mimpi yang di idam-idamkan adalah hadirnya seorang anak dan kita mengerti bahwa anak…
It's been long time, senang bisa menyapa semuanya, siapa-saja, bahkan yang hanya buka blog ini…
Niki sato tumindi-tumindian masarakat babagan Kekaisaran Mongol sing diwreprésèntasikaké ing pangelingan duwé dua anak mudang…
Spritual Awakening, ialah state baru disaat seseorang yang baru saja tlah melewati masa-masa terendah dalam…
It's been ages since you are not here. I never know how to solve my…
Nyatanya, saya tidak butuh banyak waktu untuk terinspirasi. Saya tidak tahu tentang dia sebelumnya bahkan…
View Comments