Categories: RefleksiTulisan

Fenomena Brain Drain: Saat Perginya Para Cendekiawan

the emigration of highly trained or intelligent people from a particular country.

Kamu yang saat ini ambisius dalam meraih mimpimu. Bagaimana kabarmu? Bolehkah kita duduk bersila, berdua, bertiga untuk berbicara tentang masa muda, mimpi dan angan-angan serta jaminan hari tua.

Bagiku dan kamu, bahkan kita semua. Pendidikan sangat berarti bagi diri sendiri dan kehidupan secara umum. Pendidikan yang layak-selayaknya, sekolah di sekolah terfavorit pada masanya. Apakah demikian yang kita inginkan? Dalam benak kita mungkin akan sangat memimpikan sekolah di luar negeri seperti orang-orang sebelum kita mimpikan.

Di kampung kecilku, Lombok. Orang-orang yang berpendidikan akan punya tempat strategis dalam masyarakat, mereka dilihat sebagai calon Agent Of Change yang sedang merendah untuk meroket. Pendidikan nampaknya secara tidak langsung memberi benefit terhadap persona, seseorang yang berpendidikan akan mudah diterima dan didengar.

Terbukti juga, melalui orang-orang berpendidikan banyak perubahan besar terjadi dalam negeri ini. Para Founding Father dan Founding Mother kita di negeri ini sebagian besar adalah mereka-mereka yang concern dengan pendidikan.

Ki Hadjar Dewantara misalnya, salah seorang pahlawan proklamasi yang jasa dan kiprahnya tidak hanya menerangkan Indonesia dengan ilmu pengetahuan namun juga menghapuskan kebodohan dari negeri ini. Beliau bapak pendidikan sekaligus juru kunci dalam pergerakkan kemerdekaan Indonesia sehingga diakui dunia. Beliau membawa manfaat besar, melalui kemampuan yang di milikinya. Kita punya Sosok BJ Habibie yang namanya dikenal baik di dunia dan temuan-temuan bernilai besar dimata didunia dan banyak lagi para inisiator dan penggerak ada di negeri ini.

Pendidikan adalah kehidupan. Dengannya kita merasa lebih bermakna.

Melalui pendidikan, kita membuka cakrawala dan melihat dunia dengan jendela yang lebih luas. Pendidikan tentu tidak hanya bisa didapat melalui sekolah formal karena prinsip pendidikan Long-Live-Learn, Belajar Seumur Hidup. Pendidikan bisa dari keluarga, lingkungan, pengalaman hingga pertemanan namun pendidikan yang kita maksud kali ini spesifik pendidikan formal yang kita dapat dari bangku sekolah formal.

Quote by Najwa Shihab

Dewasa ini, semakin banyak kesempatan lebar untuk siapapun meraih pendidikan tinggi dan pilihan paling ideal adalah sekolah di luar negeri. Negeri luar dikonotasikan sebagai ladangnya ilmu pengetahuan dan sumber-sumber dari pengetahuan yang hanya kita baca dalam bentuk print out nya. Banyak dari pelajar Indonesia memilih keluarga negeri dan menghabiskan sebagian besar Golden Age (Usia Emas) nya di negeri orang.

Kejarlah ilmu sampai ke negeri China.

Pepatah lama

Tumbuh, besar dan semakin cerdas di negeri orang. Setelah menyelesaikan pendidikan, hasrat meniti karir pun datang seiring bertambahnya usia. Biasanya para pelajar akan bekerja setahun hingga lima tahun bahkan lebih dari itu di negeri rantauannya. Hasil jerih-payah belajar dituangkan untuk perusahaan dan lembaga yang menggajinya lebih baik daripada lembaga-lembaga yang ada di Indonesia.

Sadarkah kita atau tidak? Bagaimana candu di negeri orang

Sebelum berangkat, kita bawa cita-cita besar menuju negara maju untuk belajar dan menyiapkan penghidupan lebih baik kemudian kembali dengan niat memajukan negeri kita sendiri. Namun, tidak sedikit dari kita yang terjebak dalam kemegahan dan kemapanan dunia luar. Hingga untuk mengingat kampung halaman pun terjadi sesaat saat kita melihat ada pemberitaan pada negeri kita.

Penomena ini disebut sebagai Brain Drain yaitu penemona sosial dimana perginya para cendekiawan dan orang-orang terlatih dari negera asalnya menuju ke negera lain. Penomena ini hampir terjadi di semua negera tidak terkecuali Indonesia. Ada banyak yang berhasil dan sukses di negeri orang namun tidak kunjung kembali ke negerinya.

Brain Drain adalah fenomena hilangnya potensi negara, baik berupa materil maupun immateril, dari Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas yang dimiliki olehnya sebagai akibat dari Human Capital Flight atau migrasi besar-besaran yang dilakukan oleh SDM berkualitas itu ke negara lain.

Kembalikan.org

Salah satu kasus Brain Drain yang populer yaitu di Ghana. Saat banyak para pelajar yang dikirim untuk mempersiapkan diri menjadi calon doktor & perawat untuk menyelesaikan masalah krisis kesehatan karena kurangnya tenaga kesehatan saat itu. Berdasarkan laporan, lebih dari 55% doktor dan 24% perawat yang terlatih tidak kembali dan memilih bekerja di luar negeri. Kasus yang terjadi di Ghana juga terjadi hingga saat ini di India & China sebagai diantara negera dengan kasus Brain Drain terbesar di dunia.

Mengapa penemona semacam ini bisa terjadi?

Tentu, kita bisa saja berdebat dengan alasan yang ada. Utamanya, tentang kesempatan dan peluang. Peluang karir yang baik, jabatan dan gaji yang tinggi bisa lebih mudah didapat di negara luar dan kesempatan-kesempatan untuk mendapat pendanaan riset, proyek kerja serta dukungan finansial pendidikan yang lebih besar.

Ada juga yang memilih bekerja di luar negeri karena merasa lebih aman, seperti cerita Albert Einstein yang pergi ke Amerika dengan meninggalkan negara asalnya Jerman karena takut akan diburu oleh Nazi hingga meninggal dunia disana.

Penomena Brain Drain dengan scope lebih kecil bisa kita lihat dengan migrasinya orang-orang cerdas dari kampung menuju kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Tangerang. Orang-orang tersebut bisa saja awalnya hanya untuk bersekolah dan mencari kerja, namun efek budaya dan lingkungan bisa berpengaruh terhadap mindset sehingga menyebabkan banyak yang akhirnya terperangkat dengan zona yang baru dan kesulitan keluar dari zona nyaman.

Penomena ini akan sangat berdampak dalam pembangunan sumber daya di dalam negeri. Mereka yang dibesarkan dan dirawat sejak kecil di negeri sendiri, kemudian dicukupkan fasilitas untuk mendapat pendidikan tinggi untuk kelak pengabdian kepada negeri. Namun, setelah “jadi” mereka memilih hidup di negeri orang hingga mengganti kewarganegaraan disana.

Bila dulu, negeri ini dijajah dan dirampas Natural Resources (Sumber Daya Alam) seperti rempah, emas, perak, nikel dan hutan. Kini bentuk lain dari penjajahan bisa kita rasakan dalam bentuk pengurasan Human Resources (Sumber Daya Manusia) dan Intelectual Resources (Kekayaan Intelektual) para masyarakatnya yang bekerja untuk negara-negara maju. Mereka dipekerjakan, diberi jaminan kesehatan, menikah dan membangun keluarga. Kecerdasan dan energi mereka di perah disana hingga desa yang dulu mereka rindukan sejak kecil hanya menjadi desa yang sedia kala, bahkan semakin sulit. Kebun-kebun dijual untuk menyekolahkan, aset-aset dijual untuk membantu pemenuhan kebutuhan mereka di rantauan. Ketika berhasil, mereka memilih menghabiskan hidup disana, melepas tanggung-jawab untuk mengabdi; hilang rasa bakti untuk negeri.

Reverse Brain Drain: Kembalinya Para Diaspora (Perantau)

Harusnya, istilah Brain Drain ini tidak akan menjadi momok menakutkan bila para perantau tetap sadar tanggung-jawabnya sebagai seorang perantau, sebagai calon-calon ilmuan, profesional dan cendekiawan. Tanggung-jawab yang ditanggung saat pergi mengejar impian dan harus dijawab saat impian itu sudah ada ditangan. Maka, Reverse Brain Drain adalah fase sebaliknya, dimana para perantau (Diaspora) kembali ke kampung halamannya untuk mengabdi kepada tanah yang sudah menumbuhkan sayur untuknya makan, sawah yang menumbuhkan padi untuknya sehingga ia dapat makan nasi serta orang-orang yang ada dilingkungannya yang membuatnya tumbuh sebagai manusia sosial. Maka, bila kelak kesempatan itu datang kepadamu. Maka, selesaikan sekolahmu dengan baik di perantauan. Bekerjalah sampai kamu merasa sudah cukup bisa makan dan memenuhi dasar kebutuhan. Kemudian, tengoklah kembali daerah asalmu, selain ayah-ibumu ada banyak yang menunggu. Siapa itu? Masyarakat yang menemanimu tumbuh remaja, lingkungan yang membuatmu berpikir serta regenerasimu yang sedang menunggu aksimu hari ini untuk masa lahir mereka.

Jangan menanti sampai kamu mapan untuk mengabdi atau menunggu dirimu sudah merasa “siap” untuk kembali, kapanpun itu waktunya, kembalilah! karena itu memang saatnya kamu harus kembali.

Special thank to Mr. Ipud (My Teacher in Step Two Class) for sharing these materials.

Harry Sunaryo

An IT Enthusiast. Founder Sanggar IT Lombok, Agromina.id. System Analyst. Programmer. Writer on Lombokit.com.

View Comments

Recent Posts

Merencanakan yang Terbaik untuk Anak..

Setelah menikah, mimpi yang di idam-idamkan adalah hadirnya seorang anak dan kita mengerti bahwa anak…

7 months ago

Journey: Being Father is My Dream ✨

It's been long time, senang bisa menyapa semuanya, siapa-saja, bahkan yang hanya buka blog ini…

11 months ago

Seperti Cerita Kekaisaran Mongol..

Niki sato tumindi-tumindian masarakat babagan Kekaisaran Mongol sing diwreprésèntasikaké ing pangelingan duwé dua anak mudang…

1 year ago

The Chosen: Sang Manusia-Manusia Terpilih..

Spritual Awakening, ialah state baru disaat seseorang yang baru saja tlah melewati masa-masa terendah dalam…

2 years ago

Ayah, Aku Mau Klarifikasi..

It's been ages since you are not here. I never know how to solve my…

2 years ago

Siapa Orang ini? Yang Menginspirasi Siapa Saja..

Nyatanya, saya tidak butuh banyak waktu untuk terinspirasi. Saya tidak tahu tentang dia sebelumnya bahkan…

2 years ago