Menjadi pribadi yang hustle culture hanya akan membawa kita pada kesengsaraan (burnout).
Barangkali banyak yang baru mendengar istilah Hustle Culture, ini bukanlah istilah baru abad ke-21an namun istilah yang sempat menjadi buzzword dekade sebelumnya.
Hustle Culture adalah gila kerja pertama kali dikenal sebagai salah satu gaya hidup workaholism. Dalam sebuah buku “Confessions of a workaholic : the facts about work addiction” yang disampaikan oleh Wayne Oates pada tahun 1971 dan kemudian secara definisi diartikan sebagai para pelaku gaya hidup yang menganggap suatu kesuksesan diri berasal dari melakukan pekerjaan secara terus-menerus dan meminimalkan waktu istirahat. Sehingga mereka tidak sadar bahwa mereka sedang dipaksa untuk terus bekerja.
Fenomena Hustle Culture juga dapat dikaitkan dengan kepribadian personal yang cenderung perfeksionis dan berorientasi pada hasil, sehingga secara tidak sadar dapat menjebak dirinya sendiri pada fenomena tersebut. Sayangnya perilaku perfeksionis yang dilakukan bukan berdasarkan pada loyalitas perusahaan atau organisasi, namun hanya ingin mendapat imbalan dan menjadikan suatu ketergantungan.
Workaholism atau Hustle Culture, dapat diaktakan mirip dengan kerja keras namun dengan motivasi & ukuran yang keliru, menurut Ahmad dan Asi (2013), berikut adalah alasannya :
Para pekerja keras beranggapan bahwa, suatu pekerjaan diperjuangkan untuk dapat mencukupi kebutuhan dasar dalam hidupnya, tetapi workaholism berpendapat bahwa pekerjaan adalah kegiatan yang dapat mengalihkan diri dari hal-hal yang tidak disukai atau diinginkan, sehingga dengan giat bekerja akan merasa aman.
Terdapat pemahaman berdasarkan batasan waktu antara ruang lingkup pekerjaan, keluarga, pertemanan, dan kehidupan pribadi mereka, sedangkan workaholism cenderung sedikit memahaminya bahkan tidak membatasi.
Adanya pengendalian keinginan dalam melakukan pekerjaan pada pekerja keras, sedangkan workaholism, secara tidak sadar dapat terus mengingat tentang pekerjaan pada setiap saat apabila melakukan kegiatan lainnya diluar pekerjaan. Dari ketiga poin diatas, memang dari segi melakukan pekerjaan tidak begitu terlihat perbedaannya bahkan bisa mirip, namun hal yang perlu digaris bawahi adalah adanya pengendalian terhadap batasan waktu, kemampuan, keinginan, terhadap interaksi pada lingkungan pekerjaan dan hal lain diluar pekerjaan.
Hustle Culture adalah budaya kerja-keras, memaksa dirimu melewati batas diri untuk mencapai tujuan, seperti kekayaan, kemakmuran dan kesuksesan lebih cepat lebih baik. Penomena ini saat-saat ini terjadi pada kebanyakan anak muda.
Tak sedikit anak muda yang memposting rutinitas kerjanya tanpa mengenal waktu dengan caption “kerja lembur bagai quda”, “kantor serasa milik sendiri”, “produktivitas tanpa batas” yang terkesan itu adalah sebuah pencapain. Maka, berikut ini dampak yang perlu kita ketahuai, good or bad depends on your perspective.
Literally referring to the Oxford Learner’s Dictionary, hustle culture means pushing someone to move faster aggressively. In simple terms, hustle culture means a culture that makes people move more quickly or aggressively, in this case a matter of work culture.
Hustle Culture adalah mendorong seseorang bekerja lebih cepat secara agresif dan signifikan. Mendorong worker bekerja di atas jam kerja normal. Mereka bahkan berpikir bekerja meski dalam free time, seperti weekend misalnya. Budaya ini ditekankan untuk mencapai target dengan ritme kerja dari biasanya.
Badly, orang-orang yang terjebak dalam budaya ini hampir tidak pernah merasakan istirahat. Bahkan, ketika mereka istirahat, mereka masih berpikir tentang bekerja.
Bekerja terlalu lama meningkatkan tekanan darah dan detak jantung karena respon psikologi dan stress. Bekerja berlebihan juga berkontribusi ke resistensi insulin, aritmia, hiperkoagulabilitas dan iskemia yang di antaranya membawa beban aterosklerotik yang tinggi, diabetes dan stroke.
Riset tahun 2018 dari Current Cardiology menemukan bahwa orang-orang yang bekerja lebih dari 50 jam perminggu memiliki peningkatan resiko dari penyakit cardiovascular dan cerebrovascular yang dapat berupa infark myocardial atau serangan jantung dan penyakit jantung koroner yang mematikan.
Resiko dari gangguan kesehatan mental berupa beberapa masalah yang berelasi ke depresi, anxiety, hingga pikiran bunuh diri. Hustle Culture menyebabkan worker merasakan burnout dan berakibat negatif pada kesehatan, WHO mendefinisikan burnout adalah sindrome yang disebabkan oleh stress yang berkepanjangan.
Referensi:
Merupakan kondisi keseimbangan dari karir dan hidup personal, stress yang disebabkan dari bekerja sehingga seseorang kehilangan momen-momen yang seringkali dibutuhkan seperti meeting keluarga, berkencan, [ngayo/midang] bahasa sasaknya hingga nongkrong dengan teman-teman. Interaksi sosial kita dengan masyarakat dan lingkungan sangat berpengaruh pada kebahagiaan dalam keseimbangan pekerjaan.
Indonesia pun tak luput dari booming budaya kerja yang gila ini, tak sedikit para pekerja yang mengalami gangguan kesehatan mental akibat jam kerja yang berlebihan. Termasuk di masa pandemi, kampanye produktif di rumah berisiko meningkatkan tren budaya hiruk pikuk karena bekerja dari rumah justru membuat batasan jam kerja hilang dibandingkan di kantor.
Media sosial adalah salah satu sumber dari tekanan yang menciptakan budaya kerja tanpa istirahat, setiap orang ingin meraih kesuksesan dan kestabilan dalam kerja mereka hingga bekerja larut malam. Kemudian memamerkan sedang bekerja di tengah malam atau di akhir pekan. Cobalah untuk menghindari penggunaan media sosial yang berlebihan seperti oversharing dan membanding-bandingkan dari apa yang ada disana.
Temukan waktu luang untuk melakukan hobi atau semuanya yang kita cintai untuk menciptakan keseimbangan hidup meningkat. Biasanya disebut sebagai keseimbangan hidup, setidaknya jangan biarkan waktu kita hanya habis dikomsumsi dengan bekerja.
Cara selanjutnya adalah dengan mengenal batas diri dan membuat batasan yang jelas. Memahami dan mengetahui kapan untuk mengatakan tidak dan berani mengatakannya, mengetahui kapan tubuh minta untuk diistirahatkan dan mengetahui kapan waktu tubuh diajak untuk bekerja lebih. Jangan paksakan.
Menciptakan keseimbangan di tempat kerja dan situasi yang sehat di kantor adalah sesuatu yang harus dianut oleh worker daripada budaya hustle culture. Lingkungan kerja yang mendukung dan menghargai setiap usaha dapat membuat kondisi mental kita menjadi lebih baik dan mengurangi stres.
Semoga bermanfaat.
https://www.sampoernauniversity.ac.id/hustle-culture-definition-impact-and-how-to-overcome-it/
Setelah menikah, mimpi yang di idam-idamkan adalah hadirnya seorang anak dan kita mengerti bahwa anak…
It's been long time, senang bisa menyapa semuanya, siapa-saja, bahkan yang hanya buka blog ini…
Niki sato tumindi-tumindian masarakat babagan Kekaisaran Mongol sing diwreprésèntasikaké ing pangelingan duwé dua anak mudang…
Spritual Awakening, ialah state baru disaat seseorang yang baru saja tlah melewati masa-masa terendah dalam…
It's been ages since you are not here. I never know how to solve my…
Nyatanya, saya tidak butuh banyak waktu untuk terinspirasi. Saya tidak tahu tentang dia sebelumnya bahkan…